Sabtu, 23 Februari 2013

INDONESIA BERASAS NEGARA HUKUM


Ada satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi yaitu asas negara hukum, artinya bagi suatu negara demokrasi pastilah menjadikan pula “hukum” sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya karena jika suatu negara diselenggarakan dari, oleh dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang-wenang. Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu. (Simposium; 159).
Demikian juga Indonesia yang dengan tegas telah memiliki bentuk demokrasi yakni dengan ketentuan terletaknya kedaulatan ada di rakyat, jelas tak lepas dari konsekuensi untuk menetapkan pula “negara hukum” maupun di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum tidak seperti asas demokrasi yang jelas-jelas disebutkan di dalam alinea IV dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tapi sekalipun begitu ada dua bukti otentik dan konstitusional bahwa Indonesia berasas negara hukum, yakni disebutkannya secara eksplisit di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat)”; kedua, bila dikaitkan dengan ciri-ciri dari negara hukum negara Indonesia sudah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai negara hukum.
Ciri dari negara hukum yang pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Tentang ciri ini bisa kita temui jaminannya di dalam pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu di dalam pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sedangkan di dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita temui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran). Jadi tentang ciri pertama ini sudah terpenuhi.
Sebagai ciri yang kedua dari negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk ciri kedua ini dapat dilihat Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.
Di dalam penjelasan terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk ciri kedua negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun ciri ketiga dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum segala bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dibenarkan oleh hukum. Di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan hukum yang telah ada. Untuk mengamankan ketentuan tersebut maka di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Jadi semua landasan yang menjadi ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga untuk disebut sebagai negara hukum Undang-Undang Dasar 1945 cukup memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaannya di lapangan kerapkali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.               

Jumat, 08 Februari 2013

PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA



Materi Konstitusi tentang wewenang dan cara bekerjanya lembaga-lembaga negara biasanya disebut Sistem Pemerintahan Negara. Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara itu bermula dari gagasan tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut). Gagasan itu antara lain dikemukakan oleh John Locke.

1.      John Locke
Melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government” John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalalm negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda-beda. Menurut John Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
a.       Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
b.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
c.       Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)

2.      Montesquieu
Melalui bukunya “L’esprit des Lois” Montesquieu pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam organ-organ Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang; eksekutif melaksanakan undang-undang; yudikatif mengadili kalau terjadi pelanggaran atas undang-undang tersebut.
Jika dibandingkan akan segera terlihat perbedaan konsep Locke dan Montesquieu sebagai berikut:
(a)    Menurut Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federasi (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
(b)   Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing. Pembagian kekuasaan itu ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Emmanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) atau Tiga Pusat/Poros Kekuasaan Negara.

Kamis, 07 Februari 2013

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 MENGANUT ASAS DEMOKRASI




Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap negara sebagai organisasi kekuasaan maka Undang-Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi kepada beberapa lembaga kenegaraan, misalnya pembagian kekuasaan kepada lembaga negara bidang legislatif, lembaga bidang eksekutif, dan lembaga bidang yudikatif. Undang-Undang Dasar (UUD) menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam satu negara (Miriam Budiardjo, 1977 : 96).
Dalam hubungannya dengan pembagian kekuasaan ke dalam berbagai lembaga, maka dapatlah dikatakan, bahwa adanya kekuasaan yang dibagi-bagikan menurut fungsi, wewenang dan kedudukan di dalam satu negara menunjukkan bahwa negara tersebut menganut paham demokrasi, bukan negara monarki atau pemerintahan diktator. Pembagian kekuasaan yang demikian haruslah dicantumkan dengan tegas di dalam Undang-Undang dasar negara tersebut.
Negara Republik Indonesia dengan demikian tak dapat disangkal menganut asas demokrasi, karena persyaratan-persyaratan untuk negara demokrasi telah dipenuhi dan dinyatakan dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengeksplisitkan adanya berbagai lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan yang masing-masing mempunyai fungsi, wewenang dan kedudukan yang berbeda. Adanya pembagian itu sebenarnya merupakan delegasi kekuasaan daripada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Bahwa di Indonesia yang memegang kedaulatan adalah rakyat yang berarti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi jelas-jelas disebut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni di dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Jadi pada dasarnya secara formal, MPR adalah merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, anggota-anggotanya merupakan wakil langsung dari rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat di Indonesia merupakan Lembaga Tertinggi Negara atau aparatur demokrasi yang tertinggi di Indonesia. Tapi lembaga ini bukanlah merupakan badan perwakilan rakyat sebab untuk lembaga yang berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat masih ada lagi satu lebaga tinggi negara yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 19, 20, 21 dan 22 Undang-Undang Dasar 1945). Berhubung dengan itu perlu diuraikan pula bahwa demokrasi di Indonesia mempunyai ke-khas-an tersendiri, artinya demokrasi di negara kita mempunyai corak khusus bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang menganut asas demokrasi.
Jika dihubungkan dengan teori tentang tipe-tipe demokrasi modern maka di Indonesia pada dasarnya menggunakan demokrasi pancasila dengan presidensiil, yakni demokrasi dengan pemerintahan perwakilan yang representatif. Disini presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Tapi salah satu kelainannya dengan sistem presidensiil pada umumnya ialah bahwa antara lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif di Indonesia tidaklah mempunyai kekuasaan terpisah secara tegas, melainkan mempunyai hubungan saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan-kekuasaan yang dipegang lembaga-lembaga negara adalah kekuasaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dibagi-bagikan atau didelegasikan. Pendelegasian itu ada yang secara permanen ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan ada pula yg diberi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat setiap lima tahun sekali, sebagai misal kekuasaan pemerintah negara dipegang oleh Presiden adalah merupakan kekuasaan yang permanen yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan materi-materi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah atau haluan negara diserahkan secara formal oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tiap lima tahun sekali.
Tentang asas demokrasi dengan sistem perwakilan yang representatif di Indonesia, selain tertuang di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, tertuang juga di dalam Pancasila. Perlu ditekankan bahwa Pancasila adalah merupakan dasar negara Republik Indonesia yang harus menjadi sumber atau dasar utama dari setiap peraturan/hukum yang ada di Indonesia, termasuk juga Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila menegaskan dalam sila IV bahwa dasar negara yang keempat adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Redaksi sila IV ini jelas-jelas menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi atau kerakyatan dengan sistem perwakilan. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 kemudian menjabarkan lebih terperinci tentang asas demokrasi ini.

KONSTITUSI SEBAGAI UNSUR POKOK HUKUM TATA NEGARA


Unsur pokok dalam Hukum Tata Negara adalah Konstitusi. Artinya kalau kita akan mempelajari Hukum Tata Negara maka yang utama harus dipelajari adalah Konstitusi atau Hukum Dasar ini.
Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan yang berasal dari Bahasa Perancis “Constituir” yang berarti membentuk. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam Bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam Bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Dengan ini maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara.
Konstitusi dalam arti luas mencakup baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sehingga secara demikian Konstitusi itu ada dua macam yaitu Konstitusi Tertulis yang biasa disebut Undang-Undang Dasar (UUD) dan Konstitusi yang tidak tertulis yang biasa disebut Konvensi. Hampir semua negara di dunia ini mempunyai Konstitusi tertulis di samping Konvensi-konvensinya kecuali Inggris dan Kanada. Di Inggris dan Kanada yang dipakai hanyalah Hukum Dasar yang tak tertulis (Konvensi).
Sebenarnya secara sepintas bisa saja di Inggris dan Kanada dikatakan tidak ada Konstitusinya, tetapi secara prinsip di kedua negara tersebut tetap berdasarkan Konstitusi. Apakah perbedaan tidak punya Konstitusi dengan punya Konstitusi tak tertulis?
Bedanya ialah bahwa pada negara yang menganut atau memakai Konstitusi tak tertulis (Konvensi) pasti terdapat isi utama yang ada pada setiap Konstitusi (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yaitu:
(a)    Tentang wewenang dan cara bekerjanya lembaga-lembaga negara (Sistem Pemerintahan Negara)
(b)   Tentang perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (Hubungan antara Pemerintah dan Warganegara)
Menurut M. Ivor Jennings semua Konstitusi di negara-negara di dunia memuat dua hal tersebut. Di Inggris dan Kanada ada dua hal tersebut secara fundamental meskipun tidak tertulis. Itulah sebabnya Inggris dan Kanada tetap dikatakan negara Konsstitusi.
Yang perlu pula diingat ialah arti tertulis tersebut. Tertulis disini mempunyai arti khusus yaitu ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Jadi kalau sekedar ditulis dalam bentuk publikasi, artikel, dan buku misalnya secara hukum tidak dikatakan tertulis.
Di dunia ini Konstitusi tertulis ada yang panjang (seperti di India yang memuat 394 pasal) dan ada yang pendek (seperti di Indonesia yang hanya 37 pasal dan Spanyol yang hanya memuat 36 pasal). Baik di dalam Konstitusi yang panjang maupun di dalam Konstitusi yang pendek kedua isi utama Konstitusi itu tetap tercakup.
Bila demikian dapat dikatakan bahwa semua Konstitusi di dunia ini mempunyai tujuan, yaitu:
(a)    Mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenang-wewenangnya.
(b)   Mengatur tentang perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Karena adanya Konvensi maka dengan sendirinya masih banyak hal yang diatur di luar Konstitusi tetapi mempunya sifat dan kekuatan mengikat seperti Konstitusi.

Rabu, 06 Februari 2013

PARADIGMA KRITIS-TRANSFORMATIF PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA





Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalm sikap dan dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang. Organisasi.PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatic yang baku, upaya merumuskan dan membangun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.
Namun demikian, dalam masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristic tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis.Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan.
Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.Pengertian Paradigma dalam khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh oleh para pimikir sosiologi.
Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya. Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII.
Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah.Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan.
Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalamm menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil.Pilihan Paradigma PMII.
Disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.Paradigma Kritis-Transformatif PMII.
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan.
Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan.
Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam ahal ini penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada pesoalan yang profan.
Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis. Sebagaimana dijelaskan di atas,
1.      pertama, paradigma krirtis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan.
2.      Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan.
3.      Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic.
Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII.Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual islam diantaranya:


HASSAN HANAFI
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menirutnya sekala ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelamahan mendasar dalam metodelogi ini. pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode trandisional teks yang telah mengalami ideologis.
Untuk mengembaliakn peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri.
Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran.
Usaha hasan hanafi ini ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisonal yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermenutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi. Untuk menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teoligi sebagai Ilmu Kalam.
Kalam merupakan realitas menusia sekaigus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan.
Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justeru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat subjudul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdir ke kehendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.


MOHAMMAD ARKOUN
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidakdapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer.
Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat teetentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu.Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan.
Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam.
Jawaban seperti itu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowlrdge) Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi –studi agama Islam. Dalam hal ini arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Setiap wacana memeilki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengan wataknya.
Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap mereka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadegan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak transformatif).
Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya.
Kedua pola pikir dari intelektaual islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalammenfdekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya.

Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan PMII).
Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud.
Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas.
Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis.Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat.
Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas.
Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis. Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.
1.      Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah berhala yang mengahruskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkandan dipinggirkan. Eksistensinyapun tidak diakui. Akibatya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
2.      Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
3.      Ketiga, sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang publik (Public sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
4.      Keempat, selama pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tardisional. Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan adanya gejolak social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII secara sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
5.      Kelima, Selain belenggu social politik yang dilakukan oleh negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama.

Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.

Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:

1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.

2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.

3. Transformasi dari Struktur ke Kultur
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.

4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).

PARTAI MODEL BARU LENIN


PARTAI MODEL BARU
“Dalam perjuangan untuk merebut kekuasaan,
 kaum proletariat tidak mempunyai senjata apa-apa selain organisasi” (Lenin, 1904).

Selama ini banyak organisasi yang didirikan dan dijadikan sebuah senjata atau alat untuk melawan dan meruntuhkan sebuah rezim atau ideologi-ideologi yang menggagalkan perkembangan sebuah Negara, terutama bagi Negara berkembang seperti Indonesia ini. Sehubungan hal tersebut kiranya sudah tepat dalam mengatur irama strategi yang dipakai, akan tetapi hal tersebut masih kurang tepat dalam hal pengkoordiniran dalam mentransformasikan sebuah gagasan untuk memahamkan secara pemahaman kolektif, sehingga dibutuhkannya suatu strategi dalam mengkoordinir masa hingga menjadi sebuah pemahaman yang bersifat kolektif. Kemudian timing yang kurang tepat atau dalam artian klimaks dari sebuah permasalahan belum mencapai puncaknya, sehingga untuk mencapai sebuah perjuangan yang semangat perjuangannya menggebu-gebu dan semangat perjuangan secara kolektif kemudian kesadaran akan penindasan secara kolektif masih belum sempurna sehingga perjuangannya sepatah-patah dan kurang maksimal.
Berdasarkan penelusuran sejarah dan analisis ekonomi, Marx berpendapat bahwa seperti feodalisme yang dengan kekerasan akan bisa digulingkan dan digantikan oleh kapitalisme, maka tatanan kapitalisme itu sendiri juga akan digulingkan dan akan memberi jalan bagi perkembangan sosialisme. Dia menganggap bahwa hal ini tidak bisa dielakkan, bukan hanya karena didalam dirinya sendiri terdapat tendensi akan terjadinya kehancuran ekonomi kapitalis, juga disebabkan karena perkembangan kapitalisme itu telah menghasilkan “penggali kuburnya sendiri” yaitu kaum proletar, kelas yang menggantikan sebagai pewarisnya. Tekanan ekonomi yang dialami kaum proletar menyadarkan akan perlunya persatuan dalam perjuangan melawan majikannya, sehingga karena itu mereka mempunyai pengalaman untuk menghargai nilai-nilai organisasi dan kerjasama yang disiplin. Kondisi kehidupan mereka itu yang telah membuat mereka potensial untuk menjadi sosialis, seperti para majikan secara alami menjadi individualis, bersaing diantara yang satu dengan yang lainnya, juga memperkaya diri dengan mengorbankan orang-orang yang dipekerjakannya. Organisasi masyarakat yang rasional dengan tujuan agar produksi bisa menghasilkan distribusi kesejahteraan yang maksimum, hanya akan mungkin bisa dibangun kalau model produksi yang anarkis, yang hanya mementingkan keuntungan pribadi dihapuskan, dan alat-alat produksi diambil alih oleh kaum buruh itu sendiri. Akan tetapi sejarah menunjukkan, kata Marx selanjutnya, bahwa kelas yang berpunya sudah pasti tidak akan menyerahkannya dengan secara sukarela, maka seperti halnya dengan kekuasaan politik yang direbut dengan kekerasan oleh kaum borjuis di masa sebelumnya, sebuah revolusi diperlukan untuk mengalihkan kekuasaan kaum borjuis kepada kaum proletar.
Di dalam perjuangan politik, “sudut pandang kelas” menuntut proletariat untuk memberikan dorongan kepada setiap gerakan demokratik. Tuntutan-tuntutan politik demokrasi kelas-buruh tidak berbeda secara prinsipil dengan tuntutan-tuntutan politik demokrasi borjuis. Mereka hanya berbeda dalam tingkatannya. Di dalam perjuangan untuk emansipasi ekonomi, untuk revolusi sosialis, kaum proletariat berdiri di atas prinsip yang berbeda dan kaum proletariat berdiri sendirian (para produsen kecil akan datang membantu hanya setelah ia masuk ke barisannya atau sedang bersiap-siap masuk ke barisannya). Akan tetapi, di dalam perjuangan untuk kebebasan politik, kita punya banyak sekutu yang tidak boleh kita abaikan. Namun, sementara sekutu-sekutu kita di dalam kamp demokrasi-borjuis, dalam berjuang untuk reforma-reforma liberal, akan selalu menengok ke belakang dan mengatur hal-hal agar mereka tetap bisa “makan enak, tidur pulas, dan hidup bahagia” di atas penderitaan orang lain, kaum proletariat akan terus maju sampai garis akhir tanpa menengok ke belakang. Namun kita tidak akan lupa bahwa bila kita ingin mendorong seorang ke depan, kita harus terus meletakkan tangan kita di pundak orang tersebut. Kaum proletariat harus belajar untuk tahu bagaimana mendorong setiap kaum liberal ketika ia sedang bersiap-siap maju satu inci, dan mendorongnya untuk maju satu meter. Bila dia diam saja, kita akan terus maju tanpa dia atau dengan melangkahinya.
 Kemudian konsep hegemoni baru yang dicetuskan oleh Lenin menjadikan sangat kompleks dan sangat sempurna dalam menyusun sebuah strategi bagi kaum proletar. Konsep hegemoni itu berbunyi bahwa hegemoni bukan diperoleh atau dilahirkan dari sebuah kekuasaan yang sedang ia kuasai untuk dimanfaatkan, melainkan hegemoni itu berasal dari sebuah kesepakatan-kesepakatan (konsensus) oleh masyarakat secara umum atau atau kesepakatan secara kolektif. Gagasan hegemoni ini jauh dikembangkan oleh Lenin yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan para anggotanya untuk tampil sebagai kelas hegemonic dalam rangka meraih dukungan mayoritas. Sedangkan kelas hegemonic adalah kelas yang memperoleh persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan system aliansi melalui internalisasi nilai-nilai serta norma-norma yang diusung agar mereka memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Karenanya, Hegemoni mensyaratkan “kepemimpinan moral dan kultural” (moral and cultural leadership).
Kemudian konsep hegemoni Lenin direduksi oleh Gramsci menjadi sebuah teori hegemoni yg lebih cenderng pada sektor pendidikan (Intelektual). Gramsci dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual yang selama ini kita kenal, dalam catatan hariannya Gramsci menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat. Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada dalam masyarakat. Yang pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh dari Intelektual Tradisional ini adalah para penulis sejarah, filsuf dan para profesor. Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. Ketika akan melakukan Counter Hegemoni kaum Intelektual organik haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, mereka haruslah orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat. dengan begitu ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi. Yang unik meski berasal dari Partai Komunis Italia tidak lantas Gramsci berpendapat bahwa Intelektual Organik harus berasal dari kalangan buruh, namun harus lebih luas dari itu. Counter Hegemoni bisa dilakukan oleh siapa saja intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni.

NAMA          : MOH. ZAINUR RIFA’
TETALA       : PROBOLINGGO, 22 JUNI 1991
PROFESI      : PENGAMAT HUKUM TATA NEGARA