Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan
organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi
pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalm
sikap dan dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula
sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan
abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik
sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang. Organisasi.PMII selama ini belum
memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan gerakan. Cara pandang
dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan
(NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatic yang baku, upaya
merumuskan dan membangun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan
baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas
nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung pada terjadinya
keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.
Namun demikian, dalam masa dua periode kepengurusan
terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara
factual dan operasional ada karakteristic tertentu yang berlaku dalam warga
pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan,
yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis.Dengan demikian secara umum
telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan.
Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung
sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat
dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas
nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.Pengertian Paradigma dalam
khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh oleh
para pimikir sosiologi.
Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi
pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok
persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan
yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan
aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas
dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan,
mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta
instrumen yang terdapat di dalamnya. Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk
oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas
mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII.
Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang
jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi
perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh
para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat
dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah
teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali
dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah.Dengan kata lain,
paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of
particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan.
Orientasi atau pendekatan umum (general orientations)
ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana
“realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam
memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalamm
menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan
solusi yang diambil.Pilihan Paradigma PMII.
Disamping terdapat banyak pengertian mengenai
paradigma, dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat
realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat
PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII memilih
paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.Paradigma
Kritis-Transformatif PMII.
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis,
terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia.
Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis,
karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan.
Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan
adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka
berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan.
Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi
tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan
memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam ahal
ini penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya
sacral, tetapi pada pesoalan yang profan.
Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap
kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang
hidup dan dinamis. Sebagaimana dijelaskan di atas,
1. pertama,
paradigma krirtis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari
berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan.
2. Kedua,
paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan.
3. Ketiga,
paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan
hegemonic.
Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh islam. Oleh
karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak
paradigma kritis di kalangan warga PMII.Contoh yang paling konkrit dalam hal
ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari
berbagai intelektual islam diantaranya:
HASSAN
HANAFI
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini
terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan
untuk memperbaharui masyarakat islam yang mengalami ketertingalan dalam segala
hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menirutnya sekala ini
mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelamahan mendasar
dalam metodelogi ini. pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap
metode trandisional teks yang telah mengalami ideologis.
Untuk mengembaliakn peran agama dalam menjawab problem
sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode
“kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk
mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri.
Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan
“desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi.
Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan islam agar tidak semata-mata
menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga
sebagai sistem pemikiran.
Usaha hasan hanafi ini ditempuh dengan mengadakan
rekontruksi terhadap teologi tradisonal yang telah mengalami pembekuan dengan
memasukkan hermenutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi.
Untuk menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teoligi sebagai
Ilmu Kalam.
Kalam merupakan realitas menusia sekaigus Ilahi. Kalam
bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam
bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran
Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi
kehendak Allah memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan.
Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan
teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan
dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut
sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah”
yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan
secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana,
tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai antropologi yang
disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justeru ingin menempatkan ilmu kalam
sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam
masyarakat tertentu.
Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi
menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan
teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah
dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara
provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat subjudul; dari
tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdir ke kehendak bebas, dan dari
otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa,
dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
MOHAMMAD
ARKOUN
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa
usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang
perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran
dan karena itu tidakdapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim
kontemporer.
Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati
agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak
menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan
aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan
dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat
teetentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh
tertentu.Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan
hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan
pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan.
Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu
pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran
Islam.Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban
diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem
kehidupan yang dialami umat Islam.
Jawaban seperti itu terlihat jelas dalam penerapan
teori pengetahuan (theory of knowlrdge) Teori pengetahuan ini meliputi landasan
epistimpologi kajian tentang studi –studi agama Islam. Dalam hal ini arkoun
membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Setiap
wacana memeilki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengan
wataknya.
Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan
kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap mereka
dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadegan (tidak
dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak transformatif).
Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha
meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini
dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk
menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan
diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya.
Kedua pola pikir dari intelektaual islam di atas
merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis
diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam
diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis
dalammenfdekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer,
Thoha Husein, dan sebagainya.
Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma
kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama
yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan
pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar
pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang
terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis
melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini
terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat
dengan Islam (yang diterapkan PMII).
Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara
keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan
yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan
dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis,
berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society
akan segera dapat terwujud.
Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing
anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan
konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.Dalam pandangan
PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial,
karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional
untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang
realitas.
Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai
tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial,
namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat
terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma kritis
tidak memberikan tawaran yang praktis.Dengan kata lain, paradigma kritis hanya
mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani
dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat.
Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan
sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam
perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi
sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya,
paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan
perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.Paradigma kritis
transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan
yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan
kritisnya terhadap realitas.
Dengan demikian paradigma kritis transformatif
dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh
masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis. Dasar Pemikiran Paradigma
Kritis Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus
memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan
pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.
1. Pertama,
masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme
modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu
budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme.
Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah berhala yang
mengahruskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak
melakukan, dia akan ditinggalkandan dipinggirkan. Eksistensinyapun tidak
diakui. Akibatya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak
berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi
suatu keniscayaan.
2. Kedua,
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi,
kultur maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma
kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap
individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan
kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan
demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk
kemanusiaan.
3. Ketiga,
sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem
politik yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang
publik (Public sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuatan negara.
Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga
proses demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk
mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara,
maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
4. Keempat,
selama pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order
paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi
developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir
sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat
tardisional. Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa
pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan
adanya gejolak social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan
harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII
secara sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki ruang yang memadai
untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
5. Kelima,
Selain belenggu social politik yang dilakukan oleh negara dan sistem
kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor
yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme
agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai
pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama.
Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada kesulitan
membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun
menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang
bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya
sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan
pada dataran praksis antara lain:
1. Transformasi dari Elitisme ke
Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa
mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat
isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan
terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering
berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal,
yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang
terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit
dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis.
Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai
tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini
haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah
transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis
teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.
Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu,
Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif
untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.
Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari Struktur ke Kultur
Bentuk
transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal
ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang
dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat
desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya
benturan sosial di lapangan.
4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang
adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini
tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat
dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun
(ipoleksosbudhankam).
Hanya Ingin Berbagi Ilmu
BalasHapus