PARTAI MODEL BARU
“Dalam perjuangan untuk merebut kekuasaan,
kaum proletariat tidak
mempunyai senjata apa-apa selain organisasi” (Lenin,
1904).
Selama ini banyak organisasi yang didirikan dan dijadikan sebuah
senjata atau alat untuk melawan dan meruntuhkan sebuah rezim atau
ideologi-ideologi yang menggagalkan perkembangan sebuah Negara, terutama bagi
Negara berkembang seperti Indonesia ini. Sehubungan hal tersebut kiranya sudah
tepat dalam mengatur irama strategi yang dipakai, akan tetapi hal tersebut
masih kurang tepat dalam hal pengkoordiniran dalam mentransformasikan sebuah
gagasan untuk memahamkan secara pemahaman kolektif, sehingga dibutuhkannya
suatu strategi dalam mengkoordinir masa hingga menjadi sebuah pemahaman yang
bersifat kolektif. Kemudian timing yang kurang tepat atau dalam artian
klimaks dari sebuah permasalahan belum mencapai puncaknya, sehingga untuk
mencapai sebuah perjuangan yang semangat perjuangannya menggebu-gebu dan
semangat perjuangan secara kolektif kemudian kesadaran akan penindasan secara
kolektif masih belum sempurna sehingga perjuangannya sepatah-patah dan kurang
maksimal.
Berdasarkan penelusuran sejarah dan analisis ekonomi, Marx
berpendapat bahwa seperti feodalisme yang dengan kekerasan akan bisa
digulingkan dan digantikan oleh kapitalisme, maka tatanan kapitalisme itu
sendiri juga akan digulingkan dan akan memberi jalan bagi perkembangan
sosialisme. Dia menganggap bahwa hal ini tidak bisa dielakkan, bukan hanya
karena didalam dirinya sendiri terdapat tendensi akan terjadinya kehancuran
ekonomi kapitalis, juga disebabkan karena perkembangan kapitalisme itu telah
menghasilkan “penggali kuburnya sendiri” yaitu kaum proletar, kelas yang
menggantikan sebagai pewarisnya. Tekanan ekonomi yang dialami kaum proletar
menyadarkan akan perlunya persatuan dalam perjuangan melawan majikannya,
sehingga karena itu mereka mempunyai pengalaman untuk menghargai nilai-nilai
organisasi dan kerjasama yang disiplin. Kondisi kehidupan mereka itu yang telah
membuat mereka potensial untuk menjadi sosialis, seperti para majikan secara
alami menjadi individualis, bersaing diantara yang satu dengan yang lainnya, juga
memperkaya diri dengan mengorbankan orang-orang yang dipekerjakannya.
Organisasi masyarakat yang rasional dengan tujuan agar produksi bisa
menghasilkan distribusi kesejahteraan yang maksimum, hanya akan mungkin bisa
dibangun kalau model produksi yang anarkis, yang hanya mementingkan keuntungan
pribadi dihapuskan, dan alat-alat produksi diambil alih oleh kaum buruh itu
sendiri. Akan tetapi sejarah menunjukkan, kata Marx selanjutnya, bahwa kelas
yang berpunya sudah pasti tidak akan menyerahkannya dengan secara sukarela,
maka seperti halnya dengan kekuasaan politik yang direbut dengan kekerasan oleh
kaum borjuis di masa sebelumnya, sebuah revolusi diperlukan untuk mengalihkan
kekuasaan kaum borjuis kepada kaum proletar.
Di dalam perjuangan politik, “sudut pandang kelas” menuntut
proletariat untuk memberikan dorongan kepada setiap
gerakan demokratik. Tuntutan-tuntutan politik demokrasi kelas-buruh tidak
berbeda secara prinsipil dengan tuntutan-tuntutan politik demokrasi borjuis.
Mereka hanya berbeda dalam tingkatannya. Di dalam perjuangan untuk emansipasi
ekonomi, untuk revolusi sosialis, kaum proletariat berdiri di atas prinsip yang
berbeda dan kaum proletariat berdiri sendirian (para produsen kecil akan datang
membantu hanya setelah ia masuk ke barisannya atau sedang bersiap-siap masuk ke
barisannya). Akan tetapi, di dalam perjuangan untuk kebebasan politik, kita
punya banyak sekutu yang tidak boleh kita abaikan. Namun, sementara
sekutu-sekutu kita di dalam kamp demokrasi-borjuis, dalam berjuang untuk reforma-reforma
liberal, akan selalu menengok ke belakang dan mengatur hal-hal agar mereka
tetap bisa “makan enak, tidur pulas, dan hidup bahagia” di atas penderitaan
orang lain, kaum proletariat akan terus maju sampai garis akhir tanpa menengok
ke belakang. Namun kita tidak akan lupa bahwa bila kita ingin mendorong seorang
ke depan, kita harus terus meletakkan tangan kita di pundak orang tersebut. Kaum
proletariat harus belajar untuk tahu bagaimana mendorong setiap kaum liberal
ketika ia sedang bersiap-siap maju satu inci, dan mendorongnya untuk maju satu
meter. Bila dia diam saja, kita akan terus maju tanpa dia atau dengan
melangkahinya.
Kemudian konsep hegemoni
baru yang dicetuskan oleh Lenin menjadikan sangat kompleks dan sangat sempurna dalam
menyusun sebuah strategi bagi kaum proletar. Konsep hegemoni itu berbunyi bahwa
hegemoni bukan diperoleh atau dilahirkan dari sebuah kekuasaan yang sedang ia
kuasai untuk dimanfaatkan, melainkan hegemoni itu berasal dari sebuah
kesepakatan-kesepakatan (konsensus) oleh masyarakat secara umum atau atau
kesepakatan secara kolektif. Gagasan hegemoni ini jauh dikembangkan oleh Lenin
yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas
pekerja dan para anggotanya untuk tampil sebagai kelas hegemonic dalam rangka
meraih dukungan mayoritas. Sedangkan kelas hegemonic
adalah kelas yang memperoleh persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lain
dengan cara menciptakan dan mempertahankan system aliansi melalui internalisasi
nilai-nilai serta norma-norma yang diusung agar mereka memberikan persetujuan
atas subordinasi mereka. Karenanya, Hegemoni mensyaratkan “kepemimpinan moral
dan kultural” (moral and cultural leadership).
Kemudian konsep hegemoni Lenin direduksi oleh Gramsci menjadi
sebuah teori hegemoni yg lebih cenderng pada sektor pendidikan (Intelektual). Gramsci
dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemony)
dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci
memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum
intelektual yang selama ini kita kenal, dalam catatan hariannya Gramsci menulis
bahwa setiap
orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan
fungsi intelektualnya di masyarakat.
Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada dalam masyarakat. Yang
pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat
independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka
hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan
seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh dari
Intelektual Tradisional ini adalah para penulis sejarah, filsuf dan para
profesor. Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang
sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di
masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan
masyarakat yang diinginkan. Ketika akan melakukan Counter Hegemoni kaum
Intelektual organik haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat,
mereka haruslah orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama
dan dapat mengorganisir masyarakat.
dengan begitu ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh
masyarakat hingga tercapainya revolusi. Yang unik meski berasal dari Partai
Komunis Italia tidak lantas Gramsci berpendapat bahwa Intelektual Organik harus
berasal dari kalangan buruh, namun harus lebih luas dari itu. Counter Hegemoni
bisa dilakukan oleh siapa saja intelektual dari berbagai kelompok yang
tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam
perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain
dan mereka
harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan
ketika melakukan counter hegemoni.
NAMA : MOH. ZAINUR RIFA’
TETALA : PROBOLINGGO, 22 JUNI 1991
PROFESI : PENGAMAT HUKUM TATA NEGARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar