Rabu, 06 Februari 2013

PARTAI MODEL BARU LENIN


PARTAI MODEL BARU
“Dalam perjuangan untuk merebut kekuasaan,
 kaum proletariat tidak mempunyai senjata apa-apa selain organisasi” (Lenin, 1904).

Selama ini banyak organisasi yang didirikan dan dijadikan sebuah senjata atau alat untuk melawan dan meruntuhkan sebuah rezim atau ideologi-ideologi yang menggagalkan perkembangan sebuah Negara, terutama bagi Negara berkembang seperti Indonesia ini. Sehubungan hal tersebut kiranya sudah tepat dalam mengatur irama strategi yang dipakai, akan tetapi hal tersebut masih kurang tepat dalam hal pengkoordiniran dalam mentransformasikan sebuah gagasan untuk memahamkan secara pemahaman kolektif, sehingga dibutuhkannya suatu strategi dalam mengkoordinir masa hingga menjadi sebuah pemahaman yang bersifat kolektif. Kemudian timing yang kurang tepat atau dalam artian klimaks dari sebuah permasalahan belum mencapai puncaknya, sehingga untuk mencapai sebuah perjuangan yang semangat perjuangannya menggebu-gebu dan semangat perjuangan secara kolektif kemudian kesadaran akan penindasan secara kolektif masih belum sempurna sehingga perjuangannya sepatah-patah dan kurang maksimal.
Berdasarkan penelusuran sejarah dan analisis ekonomi, Marx berpendapat bahwa seperti feodalisme yang dengan kekerasan akan bisa digulingkan dan digantikan oleh kapitalisme, maka tatanan kapitalisme itu sendiri juga akan digulingkan dan akan memberi jalan bagi perkembangan sosialisme. Dia menganggap bahwa hal ini tidak bisa dielakkan, bukan hanya karena didalam dirinya sendiri terdapat tendensi akan terjadinya kehancuran ekonomi kapitalis, juga disebabkan karena perkembangan kapitalisme itu telah menghasilkan “penggali kuburnya sendiri” yaitu kaum proletar, kelas yang menggantikan sebagai pewarisnya. Tekanan ekonomi yang dialami kaum proletar menyadarkan akan perlunya persatuan dalam perjuangan melawan majikannya, sehingga karena itu mereka mempunyai pengalaman untuk menghargai nilai-nilai organisasi dan kerjasama yang disiplin. Kondisi kehidupan mereka itu yang telah membuat mereka potensial untuk menjadi sosialis, seperti para majikan secara alami menjadi individualis, bersaing diantara yang satu dengan yang lainnya, juga memperkaya diri dengan mengorbankan orang-orang yang dipekerjakannya. Organisasi masyarakat yang rasional dengan tujuan agar produksi bisa menghasilkan distribusi kesejahteraan yang maksimum, hanya akan mungkin bisa dibangun kalau model produksi yang anarkis, yang hanya mementingkan keuntungan pribadi dihapuskan, dan alat-alat produksi diambil alih oleh kaum buruh itu sendiri. Akan tetapi sejarah menunjukkan, kata Marx selanjutnya, bahwa kelas yang berpunya sudah pasti tidak akan menyerahkannya dengan secara sukarela, maka seperti halnya dengan kekuasaan politik yang direbut dengan kekerasan oleh kaum borjuis di masa sebelumnya, sebuah revolusi diperlukan untuk mengalihkan kekuasaan kaum borjuis kepada kaum proletar.
Di dalam perjuangan politik, “sudut pandang kelas” menuntut proletariat untuk memberikan dorongan kepada setiap gerakan demokratik. Tuntutan-tuntutan politik demokrasi kelas-buruh tidak berbeda secara prinsipil dengan tuntutan-tuntutan politik demokrasi borjuis. Mereka hanya berbeda dalam tingkatannya. Di dalam perjuangan untuk emansipasi ekonomi, untuk revolusi sosialis, kaum proletariat berdiri di atas prinsip yang berbeda dan kaum proletariat berdiri sendirian (para produsen kecil akan datang membantu hanya setelah ia masuk ke barisannya atau sedang bersiap-siap masuk ke barisannya). Akan tetapi, di dalam perjuangan untuk kebebasan politik, kita punya banyak sekutu yang tidak boleh kita abaikan. Namun, sementara sekutu-sekutu kita di dalam kamp demokrasi-borjuis, dalam berjuang untuk reforma-reforma liberal, akan selalu menengok ke belakang dan mengatur hal-hal agar mereka tetap bisa “makan enak, tidur pulas, dan hidup bahagia” di atas penderitaan orang lain, kaum proletariat akan terus maju sampai garis akhir tanpa menengok ke belakang. Namun kita tidak akan lupa bahwa bila kita ingin mendorong seorang ke depan, kita harus terus meletakkan tangan kita di pundak orang tersebut. Kaum proletariat harus belajar untuk tahu bagaimana mendorong setiap kaum liberal ketika ia sedang bersiap-siap maju satu inci, dan mendorongnya untuk maju satu meter. Bila dia diam saja, kita akan terus maju tanpa dia atau dengan melangkahinya.
 Kemudian konsep hegemoni baru yang dicetuskan oleh Lenin menjadikan sangat kompleks dan sangat sempurna dalam menyusun sebuah strategi bagi kaum proletar. Konsep hegemoni itu berbunyi bahwa hegemoni bukan diperoleh atau dilahirkan dari sebuah kekuasaan yang sedang ia kuasai untuk dimanfaatkan, melainkan hegemoni itu berasal dari sebuah kesepakatan-kesepakatan (konsensus) oleh masyarakat secara umum atau atau kesepakatan secara kolektif. Gagasan hegemoni ini jauh dikembangkan oleh Lenin yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan para anggotanya untuk tampil sebagai kelas hegemonic dalam rangka meraih dukungan mayoritas. Sedangkan kelas hegemonic adalah kelas yang memperoleh persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan system aliansi melalui internalisasi nilai-nilai serta norma-norma yang diusung agar mereka memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Karenanya, Hegemoni mensyaratkan “kepemimpinan moral dan kultural” (moral and cultural leadership).
Kemudian konsep hegemoni Lenin direduksi oleh Gramsci menjadi sebuah teori hegemoni yg lebih cenderng pada sektor pendidikan (Intelektual). Gramsci dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual yang selama ini kita kenal, dalam catatan hariannya Gramsci menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat. Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada dalam masyarakat. Yang pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh dari Intelektual Tradisional ini adalah para penulis sejarah, filsuf dan para profesor. Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. Ketika akan melakukan Counter Hegemoni kaum Intelektual organik haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, mereka haruslah orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat. dengan begitu ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi. Yang unik meski berasal dari Partai Komunis Italia tidak lantas Gramsci berpendapat bahwa Intelektual Organik harus berasal dari kalangan buruh, namun harus lebih luas dari itu. Counter Hegemoni bisa dilakukan oleh siapa saja intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni.

NAMA          : MOH. ZAINUR RIFA’
TETALA       : PROBOLINGGO, 22 JUNI 1991
PROFESI      : PENGAMAT HUKUM TATA NEGARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar